Sabtu, 04 September 2010

peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2001
TENTANG
PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN
LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN
KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa hutan dan atau lahan merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, sosial maupun budaya, yang diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, karena itu perlu dilakukan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup;
b. bahwa kebakaran hutan dan atau lahan merupakan salah satu penyebab kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik berasal dari lokasi maupun dari luar lokasi usaha dan atau kegiatan;
c. bahwa kebakaran hutan dan atau lahan telah menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik nasional maupun lintas batas negara, yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
4. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
6. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3557);
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
9. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2952);

M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan;
2. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat;
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap;
4. Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;
5. Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mempertahankan fungsi hutan dan atau lahan melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;
6. Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;
7. Pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mengembalikan fungsi hutan dan atau lahan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan daya dukungnya;
8. Dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan;
9. Kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan hutan dan atau lahan tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
10. Pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah masuknya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan atau lahan sehingga kualitas lingkungan hidup menjadi turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
11. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang;
12. Orang adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum;
13. Penanggung jawab usaha adalah orang yang bertanggung jawab atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi;
14. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
15. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
16. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
17. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan serta pengawasan terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

BAB II
KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN
HUTAN DAN ATAU LAHAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 3
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi:
a. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan
b. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah.

Bagian Kedua
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Nasional
Pasal 4
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi:
a. Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan
b. Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
Pasal 5
(1) Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi:
a. Kriteria umum baku kerusakan tanah mineral yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;
b. Kriteria umum baku kerusakan tanah gambut yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;
c. Kriteria umum baku kerusakan flora yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; dan
d. Kriteria umum baku kerusakan fauna yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
(2) Kriteria umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 6
(1) Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b didasarkan pada kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
(2) Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 7
Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan, maka berlaku kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional.
Bagian Ketiga
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Daerah
Pasal 8
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah.
(2) Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(3) Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan, maka penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah berdasarkan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
(4) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah ditetapkan dengan ketentuan sama atau lebih ketat daripada ketentuan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional.

BAB III
BAKU MUTU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 9
Baku mutu pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi :
a. Baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional; dan
b. Baku mutu pencemaran lingkungan hidup daerah.
Pasal 10
Baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional dan baku mutu pencemaran lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
TATA LAKSANA PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 11
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan.

Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 13
Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
Pasal 14
(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
(2) Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
b. alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan;
c. prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
d. perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
e. pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala.

Pasal 15
Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 16
Pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib memperhatikan :
a. kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan sebagai bagian dari pendayagunaan sumber daya alam;
b. kesesuaian dengan tata ruang daerah;
c. pendapat masyarakat dan kepala adat; dan
d. pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang.

Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 17
Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya.
Pasal 18
(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
(2) Pedoman umum penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan setelah berkoordinasi dengan Menteri lain yang terkait dan Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 19
Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) belum ditetapkan, maka penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 20
Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup.
Pasal 21
(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
(2) Pedoman umum pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis pemulihan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pasal 22
Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) belum ditetapkan, maka pemulihan dampak lingkungan hidup dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V
WEWENANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU
PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG
BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN
HUTAN DAN ATAU LAHAN
Bagian Pertama
Wewenang Pemerintah Pusat
Pasal 23
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan lintas propinsi dan atau lintas batas negara.
Pasal 24
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan :
a. penyediaan sarana pemadam kebakaran hutan dan atau lahan;
b. pengembangan sumber daya manusia untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan; dan atau
c. pelaksanaan kerja sama internasional untuk pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 25
Dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, instansi yang bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 26
Kepala Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi pada lintas propinsi dan atau lintas batas negara.
Bagian Kedua
Wewenang Pemerintah Propinsi
Pasal 27
Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.
Pasal 28
(1) Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lintas kabupaten/kota, Gubernur wajib melakukan koordinasi penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan lintas kabupaten/kota.
(2) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur dapat meminta bantuan kepada Gubernur yang terdekat dan atau Pemerintah Pusat.
Pasal 29
(1) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Gubernur dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.
Bagian Ketiga
Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 30
Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
Pasal 31
(1) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, maka Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan :
a. penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan;
b. pemeriksaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang mengalami dampak kebakaran hutan dan atau lahan melalui sarana pelayanan kesehatan yang telah ada;
c. pengukuran dampak;
d. pengumuman pada masyarakat tentang pengukuran dampak dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.


(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, tidak mengurangi kewajiban setiap orang dan atau setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1).
Pasal 32
Bupati/Walikota yang melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, dapat meminta bantuan pada Bupati/Walikota terdekat.
Pasal 33
(1) Dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan, Bupati/Walikota dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 34
(1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
(2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas kabupaten/kota.
(3) Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas propinsi dan atau lintas batas negara.
Pasal 35
Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penaatan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 36
Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dalam hal tertentu dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penaatan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
Pasal 37
Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 dilakukan :

a. secara periodik untuk mencegah kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup;
b. secara intensif untuk menanggulangi dampak dan pemulihan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 38
Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 menunjukkan ketidakpatuhan penanggung jawab usaha, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung jawab usaha untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan melakukan tindakan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan atau pemulihan.

BAB VII
PELAPORAN
Pasal 39
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, wajib melaporkan kepada pejabat daerah setempat.
(2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat :
a. identitas pelapor;
b. tanggal pelaporan;
c. waktu dan tempat kejadian;
d. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
e. perkiraan dampak kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi.
(3) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu kali dua puluh empat jam terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
(4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu kali dua puluh empat jam sejak tanggal diterimanya laporan, wajib melakukan verifikasi dari pejabat daerah yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mengetahui tentang kebenaran terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan.
(5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan telah terjadi kebakaran hutan dan atau lahan, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya.
Pasal 40
Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (5), Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 41
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 ayat (5), dan Pasal 40, wajib menyampaikan laporannya kepada Gubenur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.

BAB VIII
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT
Pasal 42
(1) Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Pimpinan instansi teknis/Menteri berkewajiban meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak dan tanggung jawab serta kemampuannya untuk mencegah kebakaran hutan dan atau lahan.
(2) Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan atau lahan.

BAB IX
KETERBUKAAN INFORMASI DAN
PERAN MASYARAKAT
Pasal 43
(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya.
(2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui media cetak, media elektronik atau papan pengumuman yang meliputi :
a. lokasi dan luasan kebakaran hutan dan atau lahan;
b. hasil pengukuran dampak;
c. bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem;
d. dampaknya terhadap kehidupan masyarakat;
e. langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Pasal 44
Dalam hal dampak kebakaran hutan dan atau lahan melampaui lintas propinsi dan atau lintas batas negara, koordinasi pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilakukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 45
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi dalam rangka ikut serta melakukan upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang meliputi :
a. peta daerah rawan kebakaran hutan dan atau lahan;
b. peta peringkat bahaya kebakaran hutan dan atau lahan;
c. dokumen perizinan pengusahaan hutan dan atau lahan;
d. dokumen AMDAL;
e. rencana penyiapan/pembukaan hutan dan atau lahan;
f. hasil penginderaan jauh dari satelit;
g. laporan berkala dari penanggung jawab usaha mengenai status penaatan terhadap persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
h. hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dan ayat (2).
(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 46
Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 47
Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam :
a. Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 34 ayat (3), Pasal 36, dan Pasal 42 dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 8 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 21 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 39 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dan Pasal 42 dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 48
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15 dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB XII
GANTI KERUGIAN
Pasal 49
(1) Setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 21 ayat (1) yang menimbulkan akibat kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, wajib untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
(3) Tata cara penetapan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur secara tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 50
Dalam hal tata cara penetapan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) belum ditetapkan, maka tata cara penetapan besarnya ganti kerugian dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 51
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
(2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 18 yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah ini :
a. izin usaha yang telah diajukan tetapi masih dalam proses penyelesaian, wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
b. izin usaha yang sudah diterbitkan sebelum Peraturan Pemerintah ini wajib menyesuaikan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 54
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID





TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4076
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 4 TAHUN 2001
TANGGAL : 5 Februari 2001

KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL
YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
A. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN TANAH MINERAL YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

Sifat Fisik Tanah
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Struktur tanah • Terjadi kerusakan struktur tanah
• Infiltrasi air turun
• Akar tanaman tidak berkembang
• Meningkatnya laju erosi tanah Pengamatan langsung (visual)
2 Porositas (%) • Terjadi penurunan porositas
• Menurunnya infiltrasi
• Meningkatnya aliran permukaan
• Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Perhitungan dari bobot isi dan kadar air kapasitas retensi maksimum
3 Bobot isi (g/cm3) • Terjadi pemadatan
• Akar tanaman tidak berkembang
• Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Ring sample-gravimetri
4 Kadar air tersedia (%) • Terjadi penurunan kadar air
• Kapasitas tanah menahan air berkurang
• Tanaman kekurangan air Pressure plate-gravimetri
NO. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
5 Potensi mengembang dan mengkerut • Tanah kehilangan sifat mengembang mengkerutnya
• Laju erosi meningkat COLE
6 Penetrasi tanah (kg/cm2) • Penetrasi tanah meningkat
• Infiltrasi air turun
• Akar tanaman tidak berkembang Penetrometer
7 Konsistensi tanah • Tanah kehilangan sifat plastisnya
• Laju erosi meningkat Piridan tangan
Sifat Kimia Tanah
NO. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 C-organik (%) • Kadar C-organik turun
• Kesuburan tanah turun
• Berpengaruh terhadap sifat fisik tanah Walkley and Black atau dengan alat CHNS Elementary Analisis
2 N total (%) • Kadar N total turun
• Kesuburan tanah turun Kjeldahl atau dengan alat CHNS Elementary Analisis
a. Amonium (ppm) • Kadar Amonium tersedia turun
• Kesuburan tanah turun Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator
b. Nitrat (ppm) • Kadar Nitrat naik
• Meracuni air tanah Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator
3 P (ppm) • Kadar P-tersedia naik
• Keseimbangan unsur hara terganggu Spectrofotometer atau autoanalisator
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
4 PH • pH naik atau turun
• Keseimbangan unsur hara terganggu pH-meter
5 Daya Hantar Listrik ( S/cm) • Daya hantar listrik naik
• Pertumbuhan akar tanaman terganggu
• Kadar garam naik Konduktometer
Sifat Biologi Tanah
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Carbon mikroorganisme • Carbon mikroorganisme turun
• Banyak mikroorganisme mati
• Reaksi biokimia tanah terganggu CFE-TOC atau CFE-Walkley and Black (Joergensen, 1995; Vance, et.al., 1987)
2 Respirasi • Respirasi turun
• Reaksi kimia tanah terganggu
• Keragaman mikroorganisme tanah berkurang Metode Stoples seperti dalam : Joergensen, 1995; Djajakirana, 1996; Verstraete, 1981
3 Metabolic quotien (qCO2) • Metabolic quotien naik
• Mikroorganisme tanah strees
• Keragaman mikroorganisme berkurang Perhitungan dari respirasi dan karbon mikroorganisme
4 Total mikro organisme (SPK/g) • Total mikroorganisme turun
• Keragaman mikroorganisme berkurang Plate counting
5 Total Fungi (SPK/g) • Total fungi turun
• Keseimbangan populasi mikroorganisme terganggu Plate counting

B. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN TANAH GAMBUT YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

Sifat Fisik Tanah
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Porositas (%) • Terjadi penurunan porositas
• Menurunnya infiltrasi
• Meningkatnya aliran permukaan
• Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Perhitungan dari bobot isi dan kadar air kapasitas retensi maksimum
2 Bobot isi (g/cm3) • Terjadi pemadatan
• Akar tanaman kurang berkembang
• Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang Ring sample - gravimetri
3 Kadar air tersedia (%) • Terjadi penurunan kadar air
• Kapasitas tanah menahan air berkurang
• Tanaman kekurangan air Pressure plate-gravimetri
4 Penetrasi tanah (kg/cm2) • Penetrasi tanah meningkat
• Infiltrasi air turun
• Akar tanaman tidak berkembang Penetrometer
5 Subsidence • Terjadi penurunan permukaan tanah gambut
• Kedalaman efektif tanah menurun
• Umur pakai lahan turun Patok subsidence di lapang
Sifat Kimia Tanah
NO. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 C-organik (%) • Kadar C-organik turun
• Kesuburan tanah turun Walkley and Black atau dengan alat CHNS Elementary Analisis
2 N total (%) • Kadar N total turun
• Kesuburan tanah turun Kjeldahl atau dengan alat CHNS Elementary Analisis
a. Amonium (ppm) • Kadar Amonium turun
• Kesuburan tanah turun Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator
b. Nitrat (ppm) • Kadar Nitrat naik
• Meracuni air tanah Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator
3 P (ppm) • Kadar P-tersedia naik
• Keseimbangan unsur hara terganggu Spectrofotometer atau autoanalisator
4 PH • pH naik atau turun
• Keseimbangan unsur hara terganggu pH-meter
5 Daya Hantar Listrik ( S/cm) • Daya hantar listrik naik
• Pertumbuhan akar tanaman terganggu
• Kadar garam naik Konduktometer
Sifat Biologi Tanah
No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Carbon mikroorganisme • Carbon mikroorganisme turun
• Banyak mikroorganisme mati
• Reaksi biokimia tanah terganggu CFE-TOC atau CFE-Walkley and Black (Joergensen, 1995; Vance, et.al., 1987)
2 Respirasi • Respirasi turun
• Reaksi kimia tanah terganggu
• Keragaman mikroorganisme tanah berkurang Metode Stoples seperti dalam : Joergensen, 1995; Djajakirana, 1996; Verstraete, 1981
3 Metabolic quotien (qCO2) • Metabolic quotien naik
• Mikroorganisme tanah strees
• Keragaman mikroorganisme berkurang Perhitungan dari respirasi dan karbon mikroorganisme
4 Total mikro organisme (SPK/g) • Total mikroorganisme turun
• Keragaman mikroorganisme berkurang Plate counting
5 Total Fungi (SPK/g) • Total fungi turun
• Keseimbangan populasi mikroorganisme terganggu Plate counting

C. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN FLORA YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Keragaman spesies • Terjadi perubahan keragaman
• Terjadi pengurangan dan penambahan varietas
• Terjadi kepunahan spesies
• Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem Sampling
2 Populasi • Terjadi perubahan kepadatan
• Terjadi perubahan populasi
• Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem Sampling

D. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN FAUNA YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

No. PARAMETER KERUSAKAN YANG TERJADI METODE PENGUKURAN
1 Keragaman spesies • Terjadi perubahan keragaman
• Terjadi perubahan perilaku
• Terjadi pengurangan dan penambahan varietas
• Terjadi kepunahan spesies
• Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem Sampling
2 Populasi • Terjadi perubahan kepadatan
• Terjadi perubahan perilaku
• Terjadi perubahan populasi
• Terjadi ketidak-seimbangan ekosistem Sampling










Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2001
Tentang : Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal
(Illegal Logging) Dan Peredaran Hasil Hutan Illegal Di
Kawasan Ekosistem Leuser Dan Taman Nasional
Tanjung Puting

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa pelanggaran dan kejahatan di bidang kehutanan khususnya tindakan
penebangan kayu liar (illegal logging) dan peredaran hasih hutan illegal di
dan dari Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting,
sudah sangat memprihatinkan, karena itu perlu segera diambil langkahlangkah
tegas dan terpadu oleh semua instansi pemerintah yang terkait;

Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembar Negara Nomor 3888);
5. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser;
Mengistruksikan :
Kepada : Para pejabat tersebut pada Diktum PERTAMA sampai
KEDELAPAN untuk mengambil langkah-langkah tegas dan segera
menanggulangi pelanggaran dan kejahatan di bidang kehutanan
khususnya tindakan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan
secara illegal di dan dari Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman
Nasional Tanjung Puting, masing-masing sebagaimana tersebut di
bawah ini.

PERTAMA
Menteri Negara Koordinator Bidang Politik, Sosial dan Keamanan, agar:
1. Mengkoordinasikan seluruh instansi terkait yaitu Menteri Kehutanan, Panglima TNI, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi, Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian RI untuk memberantas kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal;
2. Melakukan konsolidasi dengan kelompok masyarakat yang peduli dengan kelestarian hutan dan bergerak di bidang hutan dan kehutanan.

KEDUA
Menteri Kehutanan, agar:
1. Melakukan kegiatan penjagaan hutan dan pengamanan hutan dengan menempatkan Polisi Khusus Kehutanan dan didukung aparat keamanan pada lokasi strategis;
2. Menindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana terhadap aparat kehutanan yang terbukti terlibat kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal;
3. Mencabut izin Hak Pengusahaan Hutan dan Izin Pemanfaatan Kayu yang terbukti melakukan pelanggaran atau kejahatan di bidang kehutanan .
4. Bersama-sama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan untuk, melakukan penegakan hukum terhadap pelaku, pemodal, penadah dan aktor intelektual dengan tuntutan maksimal berdasarkan ketentuan peraturan perundang yang berlaku;
5. Menyampaikan perintah-perintah Presiden yang berkaitan dengan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal kepada para Gubernur dan Bupati terkait.

KETIGA
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, agar :
1. Menindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana terhadap oknum Kepolisian yang terbukti melindungi pelaku, pemodal dan penadah kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutàn illegal;
2. Melakukan perlindungan, pengawalan, pendampingan terhadap Petugas Kehutanan dan Polisi Khusus Kehutanan secara langsung bila diminta dalam kegiatan operasi pengamanan hutan di setiap tingkatan satuan dengan tidak memerlukan instruksi dan satuan atasannya;
3. Menugaskan Polisi atau Brimob di pos-pos strategis penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal;
4. Menindak tegas para pelaku termasuk pemodal, penadah dan aktor intelektual kegiatan penebangán kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal;
5. Menangkap, menahan, dan menyidik para pelaku;
6. Menindak tegas di tempat semua pihak yang melakukan perlawanan kepada aparat yang bertugas.

KEEMPAT
Jaksa Agung, agar:
1. Menindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana terhadap oknum di lingkungan Kejaksaan yang terlibat kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal;
2. Mempercepat proses yustisi terhadap perkara pelanggaran atau kejahatan di bidang kehutanan yang diserahkan oleh Penyidik Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan.

KELIMA :
Panglima Tentara Nasional Indonesia, agar :
1. Menindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana terhadap oknum aparat di lingkungan TNI yang terbukti terlibat dalam kegiatan penebangan liar, pengangkutan/ peredaran hasil hutan illegal, maupun penyelundupan kayu;
2. TNI Angkatan Laut menindak setiap upaya penyelundupan kayu dan wilayah Republik Indonesia;
3. Menindak yayasan, usaha koperasi di bawah naungan TNI beserta oknum yan terlibat yang melakukan kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal.

KEENAM
Menteri Perindustrian dan Perdagangan, agar:
1. Menindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana terhadap oknum Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang terbukti menyalahgunakan kewenangan dalam proses pemberian izin Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH);
2. Mencabut izin IPKH yang tidak mempunyai sumber bahan baku yang jelas dan menampung kayu hasil penebangan liar;
3. Menutup IPKH yang tidak mempunyai izin dan menindak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

KETUJUH
Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi, agar :
1. Menindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana terhadap oknum Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi yang terbuki terlibat kegiatan pengangkutan hasil hutan dan peredaran basil hutan illegal;
2. Menginstruksikan kepada seluruh Administratur Pelabuhan Syah Bandar agar tidak memberikan pelayanan kepada kapal yang mengangkut kayu illegal;
3. Menindak organisasi pelayaran beserta oknumnya yang mengangkut kayu illegal.

KEDELAPAN
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, agar :
1. Menindak tegas terhadap oknum hakim yang terbukti menyalahgunakan jabatan dalam proses pengadilan di bidang kehutanan dengan sanksi adinistratif dan pidana;
2. Memberikan petunjuk kepada para hakim yang menangani kasus pelanggaran dan kejahatan di bidang kehutanan agar menerapkan ketentuan yang memberikan hukuman maksimal kepada para terdakwa;
3. Memenjarakan terpidana kasus penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal di Lembaga Pemasyarakaran Nusa Kambangan.

KESEMBILAN
Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

DikeIuarkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ABDURRAHMAN WAHID



KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 45 TAHUN 2005
04/04/2005 11:00
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 45 TAHUN 2005
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PELAKSANAAN
RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL) DAN
RENCANA PEMANTAPAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang:
1. bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomro 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup dan Gubernur;
2. bahwa di dalam Pasal 32 ayat (1) tersebut di atas tidak diatur bagaimana pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan seharusnya menyampaikan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup;
3. bahwa untuk dapat memberikan kepastian hukum mengenai format, ruang lingkup dan materi pelaporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup perlu ditetapkan suatu acuan yang dapat dijadikan pedoman bagi pelaksanaa pelaporan;
4. bahwa mengingat hal seperti tersebut pada huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
Mengungat:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang ANalisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3815) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan atas Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Peruabahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4153);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PELAKSANAAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL) DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP(RPL).
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
2. Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan/ atau kegiatan;
3. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha da/ atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Pasal 2
(1) Pedoman yang diatur dalam Keputusan ini bertujuan agar terdapat keseragaman format pelaporan dalam pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencan pemantauan lingkungan hidup (RPL) sehingga dapat tercipta kepastian hukum dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam menetapkan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Teknik dan metodologi pengelolaan dan pemantauan yang digunakan dalam pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) wajib dilakukan sesuai dengan teknik dan metodologi standar atau yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pedoman penyusunan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh pemrakarsa usaha dan/ atau kegiatan untuk pelaporan kepada instansi yang berkepentingan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan minimum dalam melakukan pelaporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) dan dapat dikembangkan sesuai dengan usaha dan/ atau kegiatan yang dilakukan.
Pasal 4
Dengan berlakunya Keputusan ini maka Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Homor 105 Tahun 1997 tentang Panduan Pemantauan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku efektif 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan.





Keputusan Menteri Pertanian
No. 179 Tahun 1982
Tentang : Larangan Pemasukan Beberapa Jenis
Ikan Berbahaya Dari Luar Negeri

Menteri Pertanian,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembinaan kelestarian sumber daya perikanan serta untuk mencegah terjadinya hal—hal yang membahayakan manusia, perlu dilakukan usaha pencegahan masuknya beberapa jenis ikan berbahaya ke Indonesia;
b. bahwa untuk mencapai tujuan diatas perlu dikeluarkan larangan pemasukan beberapa jenis berbahaya tersebut.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 31, 34, 37, 40, 43, 46, 49 tahun 1951 dan Nomor 48 tahun 1985;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1974;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 tahun 1974, sebagaimana telah diubah/ditambah dan terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1981;
5. Keputusan Presiden RepublikIndonesia Nomor 59/M tahun 1978;
6. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 214/Kpts/Um/5/1973;
Memutuskan :
Menetapkan :
Pertama
Melarang pemasukan jenis-jenis ikan berbahaya dari Luar Negeri kedalam
wilayah Republik Indonesia antara lain :
1. Serrasalmus sp (Piranha) ;
2. Vandellia sp (Vampire caifish) ;
3. Lepisosteus sp (Aligator Gar) ;
4. Silurus alanis;
5. Esex masouinongy;
6. Electronhorus electricus (Electric eel);
7. Tetraoden spp.

K e d u a
Para petugas Karantina yang dalam melaksanakan tugasnya menemukan
jenis-jenis ikan tersebut amar Pertama agar segera memusnahkan.

Ketiga
Dikecualikan dari ketentuan amar Pertama dan Kedua ialah untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan kepentingan khusus lainnya a.l. untuk
melengkapi koleksi kebun binatang berdasarkan ijin dari Menteri Pertanian
c.q. Direktur Jenderal Perikanan.

Keempat
Pelaksanaan lebih lanjut Surat Keputusan ini diatur oleh Direktur Jenderal
Perikanan.

Kelima
Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.









Keputusan Menteri Perhubungan
No. 86 Tahun 1990
Tentang : Pencegahan Pencemaran Oleh Minyak Dari Kapal-Kapal

Menimbang :
a. bahwa dalam rangka melindungi kelestarian lingkungan laut Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia telah mensahkan Konvensi International tentang Pencegahan Pencemaran dan Kapal, 1973 dan Protokol 1978 Konvensi tersebut (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 and the Protocol of 1978 relating thereto) dengan Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 yang berlaku untuk kapal—kapal tangki minyak berukuran 150 GRT atau lebih dan kapal— kapal selain kapal tangki minyak berukuran 400 GRT atau lebih;
b. bahwa kapal—kapal tangki minyak berukuran 100 GRT sampai dengan 149 SRT dan kapal—kapal selain kapal tangki minyak bérukuran 100 GRT sampai dengan 399 GRT serta kapal tunda yang menggunakan mesin penggerak utama bertenaga 200 PK atau lebih juga merupakan sumber pencemaran lingkungan laut karena tumpahan minyak;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu menetapkan peraturan pencegahan pencemaran yang diakibatkan oleh minyak dan kapal— kapal sebagaimana huruf b di atas;
Mengingat :
1. Undang—undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan—ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Undang—undang Nomor 5 Tahun 1983, tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44,Tambahan LembaranNegara Nomor 3260);
3. Loodsdienst Ordonnantie (Stbl. Tahun 1927 Nomor 62);
4. Scheepen Ordonnantie (Stbl. Tahun 1935 Nomor 66) beserta Peraturan Pelaksanaannya;
5. Reede Reglement, 1925 (Stb. Tahun 1925 Nomor 500);
6. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok—pokok Organisasi Departemen;
7. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1990;
8. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International Convention for the Prevention of Oil Pollution from Ships, 1973 and The Protocol of 1978 Relating Thereto, (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 59);
9. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 91/OT 002/ Phb—80 dan KM 144/OT 002/Phb—B0 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 23 Tahun 1989;
10. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 167/HM 207/Phb-86 tentang Sertifikat International Pencegahan Pencemaran oleh Minyak dan Sertifikat International Pencegahan Pencemaran oleh Bahan Cair Beracun.
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENCEGAHAN PENCEMARAN OLEH MINYAK DARI KAPAL-KAPAL.
BAB I
UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
a. Kapal Tangki Minyak adalah kapal yang dibangun atau disesuaikan terutama untuk mengangkut minyak secara curah dalam ruang— ruang muatannya termasuk pengangkut— pengangkut kombinasi dengan muatan padat;
b. Minyak adalah minyak bumi dalam bentuk apapun, termasuk minyak bahan bakar, minyak kotor, kotoran minyak dan hasil—hasil olahan pemurniannya yaitu berbagai jenis aspal, bahan bakar diesel, minyak pelumas, minyak tanah, bensin, minyak suling dan naphtha;
c. Limbah Berminyak adalah limbah yang mengandung minyak;
d. Bahan Bakar Minyak adalah minyak yang dibawa dan digunakan sebagai bahan bakar untuk sistem penggerak dan permesinan bantu kapal;
e. Pemilik adalah orang atau orang—orang atau perusahaan yang terdaftar sebagai pemilik kapal atau yang bertanggungjawab atas nama pemilik kapal, termasuk operator.
Pasal 2
Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan minyak atau limbah
berminyak di Perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
kecuali memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. kadar minyak dalam limbah tidak melebihi 15 per satu juta bagian (15 ppm), apabila kapal berada pada jarak 12 mil atau kurang dan daratan terdekat;
b. kadar minyak dalarn limbah tidak melebihi 100 per satu juta bagian (100 ppm), apabila kapal berada pada jarak lebih dan 12 mil dari daratan terdekat;
c. pembuangan minyak atau limbah berminyak itu mutlak diperlukan untuk menjamin keselamatan kapal atau keselamatan jiwa di laut;
d. tumpahan minyak atau limbah berminyak itu diakibatkan oleh kerusakan pada kapal atau perlengkapannya yang terjadi secara mendadak dan semua tindakan purbajaga telah diambil guna mencegah atau mengurangi tumpahan.

BAB II
PERSYARATAN PERALATAN DAN
PERLENGKAPAN PENCEGAHAN PENCEMARAN
Pasal 3
1) Kapal Tangki Minyak Indonesia yang berukuran 100 GRT sampai dengan 149 GRT dan kapal—kapal selain Kapal Tangki Minyak yang berukuran 100 GRT sampai dengan 399 GRT serta kapal—kapal tunda yang menggunakan mesin penggerak utama bertenaga 200 PK atau lebih, wajib memiliki peralatan pencegahan pencemaran.
2) Peralatan pencegahan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus senantiasa dirawat dan berfungsi dengan baik.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kapal layar dengan atau tanpa penqgerak bantu motor.

Pasal 4
(1) Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan konstruksi untuk pencegahan pencemaran . dan peralatan
serta perlengkapan pencemaran sebagai berikut :
a. pondasi—pondasi, tangki—tangki dan pipa— pipa yang berkaitan dengan pemasangan peralatan pencegahan pencemaran harus dirancang dengan konstruksi yang kuat dan bahan yang memadai;
b. sistem pipa tolak bara di kapal harus terpisah dan sistem pipa minyak bahan bakar, minyak muatan dan minyak pelumas;
c. dilengkapi dengan tangki penampungan minyak kotor dan ruang permesinan, berkapasitas sekurang—kurangnya sama dengan perhitungan V ( kapasitas minimum tangki dalam M3) = 0,15 x C ( pemakaian bahan bakar minyak setiap hari dalam ton);
d. apabila memiliki pipa saluran pembuangan dari kapal kedarat, saluran tersebut harus dipasang flensa sambungan pembuangan startdar dengan ukuran sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.
e. peralatan pemisah air dan minyak (oily water separator) yang dipasang diruang mesin dengan kapasitas sebagai berikut : 1) 0,25 m3/jam untuk kapal dengan isi kotor 150 GRT atau lebih dan untuk kapal tunda dengan mesin penggerak utama 500 PK atau lebih; 2) 0,10 m3/jam untuk kapal dengan isi kotor kurang dan150 GRT dan untuk kapal tunda dengan mesin penggerak utama kurang dan 500 PK.
f. Buku Catatan Minyak (Oil Record Book) untuk mencatat kegiatan— kegiatan di kapal sebagai berikut :
1) bagi kapal yang bukan Kapal Tangki Minyak:
a) pencucian tangki minyak bahan bakar;
b) pembuangan air bilga melalui alat pemisah air dan minyak;
c) penyaluran limbah berminyak dan tangki slop ke fasilitas penampungan di darat.
2) bagi Kapal Tangki Minyak :
a) pemuatan minyak muatan;
b) pemindahan muatan minyak di dalam kapal selagi berlayar;
c) pembongkaran minyak muatan;
d) pengisian tolak bara di tangki muatan;
e) pencucian tangki muatan;
f) pembuangan air bilga ke luar kapal melalui alat pemisah air dan minyak;
g) pencucian tangki minyak bahan bakar;
h) penyaluran limbah berminyak dari kapal ke fasilitas penampungan di darat.

(2) Untuk Kapal Tangki minyak selain memenuhi persyaratansebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), harus disediakan tangki slop penampungan
limbah bekas cucian tangki muatan dan bekas tolak bara dan ruang
muatan, sebagai berikut :
a. berkapasitas sekurang—kurangnya sama dengan 3% dan kapasitas ruang muat;
b. dilengkapi dengan alat pendeteksi batas permukaan air dan minyak (oil—water interface detector);
c. dilengkapi dengan instalasi—instalasi perpipaan, pompa— pompa, katup—katup dan sambungan—sambungan penampungan dan penyaluran ke fasilitas darat.

Pasal 5
Sebelum dilakukan pemasangan peralatan pencegahan pencemaran di kapal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, gambar rencana instalasi harus
diajukan kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut.

Pasal 6
Penyaluran atau pemindahan minyak buangan atau limbah berminyak dari
tangki penampung di kapal ke fasilitas penampungan di darat menjadi
tanggung iawab pemilik atau operator kapal.

Pasal 7
Pemilik atau Nakhoda Kapal yang melanggar ketentuan dalam Kaputusan ini
yang mengakibatkan kerusakan atau pencemaran lingkungan laut,
bertanggung jawab secara perdata maupun pidana sesuai dengan peraturan
perundang—undangan yang berlaku.

BAB III
SERTIFIKASI PERALATAN DAN
PERLENGKAPAN PENCEGAHAN PENCEMARAN
Pasal 8
1) Kapal—kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1),yang telah memenuhi persyaratan konstruksi, peralatan dan perlengkapan pencegahan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 setelah dilakukan pemeriksaan akan diterbitkan Sertifikat Nasional Pencegahan Pencemaran OIeh Minyak Pertama oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Keputusan ini.
2) Sertifikat Nasional Pencegahan Pencemaran Oleh Minyak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku untuk 5 (lima) tahun.
3) Sertifikat Nasional Pencegahan Pencemaran Oleh Minyak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila habis masa berlakunya, setelah dilakukan pemeriksaan akan diterbitkan Sertifikat Pembaharuan oleh Syahbandar yang ditunjuk.
4) Sertifikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)yang masih berlaku harus senantiasa berada di kapal dan siap untuk diperlihatkan setiap kali diminta oleh Pejabat yang berwenang untuk itu.

Pasal 9
Uintuk menjamin kondisi teknis konstruksi penataan, perlengkapan dan
peralatan pencegahan pencemaran tetap memenuhi syarat dan berfungsi
baik, dilakukan pemeriksaan tahunan dan dilakukan pengukuhan Sertifikat
Nasional yang telah diterbitkan tersebut.

Pasal 10
Sertifikat Nasional Pencegahan Pencemaran Oleh Minyak dinyatakan tidak
berlaku lagi apabila :
a. terjadi perubahan—perubahan penting atas konstruksi, penataan, perlengkapan atau peralatan pencegahan pencemaran tanpa persetujuan dari Pemerintah;
b. terjadi perubahan jenis, nama, tanda panggilan atau isi kotor kapal.

BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
1) Dengan berlakunya Keputusan ini, semua kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang kontrak pembangunan atau kontrak perombakannya ditanda—tangani pada saat atau sesudah berlakunya Keputusan ini, atau yang penyerahannya dilakukan sesudah tanggal 15 Maret 1991, harus disesuaikan dengan keputusan ini.
2) Kapal—kapal yang telah ada sebelum diterbitkannya Keputusan ini diberikan tenggang waktu penyesuaian selambat— lambatnya tanggal 15 Maret 1991.
3) Bagi kapal—kapal kayu bermotor diberikan tenggang waktu penyesuaian selambat—lambatnya tanggal 15 September 1991.

BAB V
KETENTUAN LAIN—LAIN DAN PENUTUP
Pasal 12
Direktur Jenderal Perhubungan Laut mengawasi pelaksanaan Keputusan ini.

Pasal 13
Keputusan ini tidak berlaku bagi kapal—kapal perang.

Pasal 14
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggalditetapkan.

Ditetapkandi: JAKARTA
Pada tangqal : 8 September 1990
Menteri Perhubungan
Ttd

Azwar Anas













Undang Undang No. 23 Tahun 1997
Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 23 TAHUN 1997 (23/1997)
Tanggal : 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)
Sumber : LN 1997/68; TLN NO.3699

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara;
b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan;
c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;
d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup;
e. bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;
f. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e di atas perlu ditetapkan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain;
2. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup;
3. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan;
4. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup;
5. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
6. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain;
7. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain;
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya;
9. Pelestarian daya tampung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
10. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumber daya buatan;
11. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup;
12. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
13. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang;
14. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan;
15. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya;
16. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan;
17. Bahan berbahaya dan beracun adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
18. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
19. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
20. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan;
21. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;
22. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup;
23. Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
24. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
25. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.

Pasal 2
Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berWawasan Nusantara dalam
melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN SASARAN
Pasal 3
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung
jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pasal 4
Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :
a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup;
b. terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
c. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
d. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
f. terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

BAB III
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 5
1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 6
1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.
2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 7
1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
1. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
2. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
3. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
4. memberikan saran pendapat;
5. menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

BAB IV
WEWENANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 8
1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah.
2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah:
a. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
b. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;
c. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika;
d. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
e. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
1) Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
2) Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.
3) Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
4) Keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikoordinasi oleh Menteri.

Pasal 10
Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban:
1) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
2) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup;
3) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
4) mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
5) mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
6) memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup;
7) menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup;
8) menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;
9) memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup.

Pasal 11
1) Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.
2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 12
1) Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat:
a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah;
b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.

2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 13
1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
2) Penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 14
1) Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
2) Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3) Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15
1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16
1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17
1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.
3) Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PERSYARATAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama Perizinan
Pasal 18
1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.

Pasal 19
(1) Dalam menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib
diperhatikan:
a. rencana tata ruang;
b. pendapat masyarakat;
c. pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang
berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut.
(2) Keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan.

Pasal 20
1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri.
4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.
5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21
Setiap orang dilarang melakukan impor limbah bahan berbahaya dan
beracun.

Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 22
1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 23
Pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan dilakukan
oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus untuk itu oleh Pemerintah.

Pasal 24
1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.
2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.

Bagian Ketiga Sanksi Administrasi
Pasal 25
1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Pasal 26
1) Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
2) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 27
1) Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
2) Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.
3) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya.

Bagian Keempat Audit Lingkungan Hidup
Pasal 28
Dalam rangka peningkatan kinerja usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah
mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
audit lingkungan hidup.

Pasal 29
1) Menteri berwenang memerintahkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup apabila yang bersangkutan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk melakukan audit lingkungan hidup wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakan audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
4) Jumlah beban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
5) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Bagian Pertama Umum
Pasal 30
1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
3) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 31
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya
atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Pasal 32
Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga,
baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang
memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.

Pasal 33
1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
2) Ketentuan mengenai penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan

Paragraf 1: Ganti Rugi
Pasal 34
1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.

Paragraf 2 :Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 35
1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Paragraf 3 : Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 36
1) Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
2) Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Paragraf 4 : Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup
Untuk Mengajukan Gugatan
Pasal 37
1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38
1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
3) Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Pasal 39
Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang,
masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum
Acara Perdata yang berlaku.

BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 40
1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
5) Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 41
1) Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 42
1) Barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 43
1) Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barang siapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan denda paling banyak Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 44
1) Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 45
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 46
1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Pasal 47
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana
lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.

Pasal 48
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
1) Selambat-lambatnya lima tahun sejak diundangkannya Undangundang ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Undangundang ini.
2) Sejak diundangkannya Undang-undang ini dilarang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan limbah bahan berbahaya dan beracun yang diimpor.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Pada saat berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah
ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti
berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 51

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3215) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 52
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.

MOERDIONO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar