Sabtu, 04 September 2010

Kontrofersi Pemberlakuan ‘Syariat Islam’ Di Aceh

I. PENDAHULUAN
“Serulah (semua manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS An-Nahl: 125).
Syariat Islam perlu ditegakkan dibumi Allah, untuk itu perlu memahamkan pada masyarakat tentang syariat dan hukum-hukumnya, agar hal itu semakin mendekat antara teori dan prakteknya.
Syariat Islam merupakan jalan yang diberikan oleh Allah Sang Pencipta makhluknya yang disampaikan melalui Al Qur;an dan hadits, sehingga hal itu dijamin kebenarannya. Dan ini telah digaransi oleh Sang Maha Pencipta sendiri. Sedangkan hukum yang dibuat manusia adalah hukum yang tidak terlepas dari kepentingan dan nafsu manusia. Syariat Islam itu pun bukan untuk kepentingan Allah, tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri. Untuk di Indonesia, untuk memahamkan tentang jarimah/tindak pidana diperlukan seratusan dokter untuk memahamkan seluruh bidang hukum pidana Islam.
Penerapan syariat Islam di Aceh didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001. Terlepas dari ada atau tidaknya tuntutan, penerapan Syariat Islam di Aceh lebih berkorelasi dengan aspek politik, yaitu sebagai upaya pemerintah menyelesaikan konflik di daerah ini.
Sebagian besar masyarakat di Aceh membenci pelanggar Syariat Islam, padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim, bak kata pepatah lama Aceh “sembahyang wajeb uro jumat, sembahyang sunat uro raya” (shalat wajib adalah Shalat Jumat, dan shalat sunnah adalah Shalat Ied).
Tidak mengherankan apabila masih dijumpai masyarakat di Aceh yang sudah akhil baligh belum begitu mampu membaca Al Quran dengan lancar, tidak pernah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, padahal dia mengaku sebagai seorang muslim. Orang-orang seperti ini tidak pernah mendapat hukuman, tetapi sudah bertindak sebagai penegak syariat dengan ikut serta dalam berbagai penangkapan atas nama syariat, karena masih dangkalnya pemahaman tentang Syariat Islam.




I.i LATARBELAKANG

Menyimak pelaksanaan Syariat Islam di Aceh beberapa waktu lalu, terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan Syariat Islam yang cenderung dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh, dan pihak pelaksana Syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh. Atas nama Syariat Islam, seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan tidak manusiawi dan penganiayaan dari masyarakat, seperti dimandikan dengan air comberan, diarak massa tanpa busana, bahkan sampai pada pelecehan seksual (contohnya pemaksaan adegan mesum di pantai Lhok Nga oleh oknum polisi Syariah).
Salah satu kritik adalah selain belum kaffahnya penerapan syariat di Aceh penekanannya juga hanya pada beberapa hal dan terkesan dangkal, seperti yang seringkali muncul ke permukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, dan khamar, yang kemudian direspon oleh masyarakat melalui sweping-sweping di jalan-jalan negara yang dalam beberapa kasus berakhir ricuh, dan kafe-kafe dengan penekanan pada penggunaan pakaian bagi perempuan. Dalam pelaksanaan Syariat Islam, justru terjadi pelanggaran terhadap serangkaian aturan-aturan lainnya. Oleh karenanya muncul pertanyaan, apakah korupsi dan manipulasi keuangan negara dibenarkan dalam Islam? Apakah tidak menunaikan ibdah shalat, puasa dan zakat dibenarkan dalam Islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggaran Syariat Islam tanpa adanya proses hukum yang adil dibenarkan oleh Islam?
I.ii MASALAH
syariat islam di Aceh bukanlah syariat murniyang diajarkan dalam syariat islam yang sesungguhnya.




II. PEMBAHASAN
Muhammad Ibnu Ibrahim ibnu Jurair, menyebut yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu riddah/murtad, al baghi/pemberontakkan, zina, qadzab/ tuduhan palsu zina, sariqah atau pencurian, hirobah/perampokkan dan shurb alkhamr/meminum khamr.
Kejaharan-kejahatan itu hukumnya sudah jelas, seperti zina hukumannya bagi penzina yang belum nikah didera 100 kali dan diasingkan setahun. Bagi penzina yang telah menikah hukumannya didera 100 kali dan dirajam dengan batu. Hukuman ini jika diberlakukan, orang Amerika banyak yang kena hukuman, makanya disama menolak hukuman itu, karena zina dianggap menyenangkan. Bahkan ia minta agar hukum itu agar dihilangkan.
Untuk qadzab/ menuduh palsu zina hukumannya 80 kali dera. Meminum minuman keras hukumannya didera 40 kali. Pencuri hukumannya dipotong tangannya. Perampokkan hukumannya perampok dipotong tangan dan kakinya secara bersilang. Untuk riddah/murtad hukumannya dibunuh atau dibiarakan supaya mati sendiri. Sebelumnya disadarkan agar kembali ke Islam. Pemberontak hukumannya diperangi. Serta pembunuh hukumannya diqishas dibalas dibunuh, atau bias juga diampuni oleh keluarganya.
Keputusan untuk menghasilkan hingga diberlakukan hukuman itu, dengan cermat dan teliti serta harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat, sehingga tidak sembarangan untuk mencapai hasil pelaksanaan hukuman itu. Misalnya hukuman penzina, harus ada saksi empat, atau pelakunya mengakui, saksinya tak boleh berdusta, dan harus benar-benar telah melaksanakan zina. Baru nanti dihukum.
Dalam hukum pidana Islam kedua golongan tindak pidana tadi yang berjumlah 12 (7 tindak pidana hudud dan 5 tindak pidana qishash dan diyat) sudah pasti dan tidak bias ditambah atau dikurangi. Sedangkan yang bias berubah hukum ta’zir untuk menjerat berbagai perbuatan merugikan, yang terus muncul atau berkembang dimasyarakat. (hal 39)
Adapun keunggulan hukum pidana Islam, yaitu mampu menekan kejahatan sampai titik yang sangat rendah. Misalnya di Arab Saudi, dalam waktu 25 tahun hanya terjadi 16 kali hukuman potong tangan setelah diberlakukan hukum pidana Islam. Makanya disana aman dari pencurian. Menurut Prof. Souryal orientalis, syariat Islam sangat berperan dalam membentuk satu masyarakat anti Islam sangat berperan dalam membentuk satu masyarakat anti kejahatan dan masyarakat dengan kontrol sosial yang tinggi (hal 89)
syariat islam di Aceh tidak kental akan ajaran syariat islam yang sesungguhnya. sebab dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh masih banyak berbagai penyimpangan-penyimpangan dan masih terlampaui jauh dari syariat islam yang sesungguhnya.
islam adalah agama yang fleksibel, islam tidak memberatkan umatnya didalam urusan beragama tapi memberikan kemudahan kepada penganutnya dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT.
Dalam penerapan Syariat Islam di Aceh terdapat berbagai kelemahan dan kekurangan yang harus diperbaiki secepatnya, antara lain:
• Terbatasnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang mampu menyusun konsep-konsep dan formula syariat Islam yang hendak diaplikasikan. Di samping itu, rumusan formula syariat yang tepat dan ideal untuk diaplikasikan juga belum ditemukan.
• Penegasan hukum terhadap permasalahan pelindungan anak dalam Syariat Islam. Anak-anak yang berumur 18 tahun nantinya tunduk kepada undang-undang anak walau melakukan pelanggaran syariat dan mereka harus diproses melalui pengadilan anak
• Pemahaman dan pengertian yang masih sangat minim tentang pola penerapan yang Syariat Islam yang baik dan benar, baik di tingkat aparatur maupun di masyarakat Aceh.
• Ketidakseriusan dan kurangnya sosialisasi tentang tata cara pelaksanaan Syariat Islam yang seharusnya terhadap masyarakat oleh pemerintah melalui Dinas Syariat Islam terkait dengan melakukan sosialisasi, diskusi-diskusi rutin dengan masyarakat Aceh di berbagai pelosok. Keterlibatan aktif masyarakat dalam penerapan Syariat Islam memang diperlukan tetapi tetap menempuh prosedur hukum yang berlaku sehingga niat baik menegakkan hukum Islam tidak melanggar hukum dan norma lainnya yang berlaku di negara ini.
• Status, keterampilan dan ”code of conduct” polisi syariat itu sendiri. Kadangkala seringkali polisi syariat tidak berdaya ketika berhadapan dengan pelaku syariat yang kuat secara struktural dan finansial, serta sering menimbulkan kekecewaan masyarakat.
Selain itu, penerapan Syariat Islam secara menyimpang dan tidak benar telah mengakibatkan munculnya beberapa hal berikut.
• Mengemukakanya konflik kepentingan antara pemerintah daerah dan masyarakat.
• Memudarnya kepercayaan masyarakat kepada elit politik setempat.
• Munculnya resistensi masyarakat terhadap berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah, terutama regulasi yang terkait dengan penerapan syariat Islam.






III. PENUTUP
Sejauh ini, penerapan Syariat Islam belum menghasilkan perubahan ke arah yang lebih positif dalam tata kehidupan masyarakat. Penerapan Syariat Islam dilakukan ketika Aceh berada dalam pusaran konflik, sehingga kelancaran pelaksanaannya mengalami gangguan yang cukup serius, bahkan isu Syariat Islam pernah berada di bawah bayang-bayang isu konflik.
Penerapan Syariat Islam di Aceh saat ini harus mendapatkan kajian ulang yang mendalam dari semua pihak, sehingga Islam di Aceh tidak terkesan sebagai Islam yang radikal yang menghalalkan cara-cara kekerasan, tetapi menjadi Islam yang berwibawa, bersahaja dan rahmatan lil’alamin. Ditakutkan konsekuensi di kemudian hari, masyarakat akan takut terhadap pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Namun bukanlah takut akan hukuman Allah, tetapi justru takut mendapat perlakuan yang merendahkan martabat dari manusia itu sendiri. Seharusnya pelaksanaan atau pemegang kebijakan dapat memberikan penyadaran moral kepada masyarakat melalui penerapan Syariat Islam untuk mencapai ridho Allah SWT secara jangka panjang. Bukan hasil pemikiran jangka pendek karena asumsi Aceh sebagai Negeri Serambi Mekah dan kepentingan politik semata. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar