1. Mengenai Pasal 178 Ayat (1), (2), dan (3) Herziene Inlandsch Reglement !
Pasal 178 Herziene Inlandsch Reglement :
(1) Waktu musyawarah, hakim berwajib, karena jabatannya, mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh dua belah pihak
Yang dimaksud dalam pasal 178 ayat (1) ini dengan perkataan “hakim wajib mencukupkan segala alas an hokum…” jikalau tuntutannya menerangkan bahwa orang yang digugat telah meminjam uang daripadanya dan ia menuntut supaya uang dikembalikan dengan tidak mengemukakan alasan hukumnya, maka tuntutan yang demikian sudah cukup. Alas an hukumnya boleh diserahkan kepada hakim dan hakim akan mencukupkan alasan hukum tersebut, karena ia tahu menurut kaidah hokum, jika uang yang dipinjamkan itu harus dibayar kembali.
Akan tetapi, jikalau penggugat menuntut supaya yang punya uang itu, karena tidak membayar kembali uang pinjamannya, dikeluarkan dari rumahnya, maka tuntutan itu tidak akan terpenuhi oleh hakim, karena tidak ada kaidah hukumnya buat mendengarkan tuntutan tersebut.
(2) Hakim itu wajib mengadili segala bagian tuntutan
Hakim wajib menjalankan hukum atas segala bagian dari tuntutan. Ini maksudnya bahwa jika ada beberapa hal yang dituntutnya, misalnya pokok hutang bunga yang harus dibayar atau dengan pembayaran kerugian maka Pengadilan Negeri harus memberikan keputusan dengan nyata dari tiap-tiap bagian dari tuntutan itu.
(3) Ia dilarang akan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tiada dituntut, atau akan meluluskan lebih daripada yang dituntut
Melarang hakim menjatuhkan putusan attas perkara yang tidak dituntut atau akan meluluskan lebih dari pada yang dituntut.
Jikalau seorang penggugat dimenangkan didalam perkaranya, akan tetapi ia tadi pada tuntutannya tidak sekalian minta supaya yang digugat dihukum membayar ongkos perkara, maka hakim tidak boleh mencantumkan didalam putusannya supaya yang dikalahkan itu membayar ongkos perkara. Didalam kejadian tersebut, maka hakim harus menghukum kedua belah pihak untuk menanggung masing-masing ongkosnya.
2. Penjelasan tentang Pembuktian Historis !
Pembuktian yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkrit. Baik dalam pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
3. Resum mengenai teori Pembuktian bebas, teori Pembuktian Positif, dan teori Pembuktian Negatif !
o Teori pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga pernilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya
o Teori pembuktian positif
Dalam teori ini terdapat larangan dan teori ini juga menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (Ps. 165 HIR Rbg, 1870 BW)
o Teori pembuktian negatif
Teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif , yaitu bahwa ketentuan-ketentuan ini harus dibatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (Ps. 169 HIR, Rbg, 1905 BW)
4. Resum mengenai teori pembuktian yang bersifat menguatkan, subjektif, objektif, hukum public dan hukum acara !
o Teori pembuktian yang bersifat menguatkan
Menurut teori ini aka siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum daripada teori ini dalah pendapat bahwa hal-hal negatif tidak mungkin dibuktikan. Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar dari suatu hak; sekalipun itu pembuktiannya mungkin, hal ini tidaklah penting dan oleh karena itu tidak dapat dibebankan kepada seseorang.
o Teori pembuktian yang bersifat subjektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya. Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Untuk mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan dibedakan antara peristiwa-peristiwa umum dan peristiwa-peristiwa khusus. Yang terakhir ini dibagi menjadi peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak, peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi timbulnya hak, dan peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak.
Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak.sedangkan tergugat membuktikan adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa-peristiwa yang menghalang-halangi dan yang bersifat membatalkan. Teori ini berdasarkan pada Pasal 1865 BW. Teori ini hanya bias member jawaban apabila gugatan penggugat didasari atas hukum subjektif. Teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam sengketa yang bersifat prosesuit.
Didalam praktek teori ini sering menimbulkan ketidakadilan dan memberi kelonggaran kepada hakim untuk mengadakan peralihan beban pembuktian.
o Teori pembuktian yang bersifat objektif
Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut.
Siapa yang misalnya harus mengemukakan adanya sesuatu persetujuan harus mencari dalam ungang-undang (hukum objektif) apa syarat sahnya persetujuan (Ps. 1320 BW) dan kemudian member pembuktiannya. Ia tidak perlu misalnya membuktikan cacat dalam persesuaian kehendak, sebab hal itu tidak disebutkan dalam pasal 1320 BW . tentang adanya cacat ini harus dibuktikan dari pihak lawan.
Hakim yang tugasnya menerapkan hukum objektif pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak hanya dapat mengabulkan gugatan apabila terdapat unsure-unsur yang ditetapkan oleh hukum objektif ada. Jadi atas dasar isi hukum objektif yang diterapkan dapat ditentukan pembagian beban pembuktian.
Teori ini sudah tentu tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh undang-undang. Selanjutnya teori ini bersifat formalistis.
o Teori pembuktian yang bersifat hukum public
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang bersifat hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai dengan saksi pidana.
o Teori pembuktian yang bersifat hukum acara
Dalam teori ini hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara berimbang atau patut. Kalau penggugat menggugat tergugat mengenai jual beli, maka sepatutnyalah penggugat membuktikan adanya jual beli dan bukannya tergugat yang harus membuktikan tentang tidak adanya perjanjian tersebut antara penggugat dan tergugat.
Kalau pada dasarnya siapa yang mengemukakan sesuatu, yang harus dibebani dengan pembuktian, maka didalam prakteknya pembagian beban pembuktian itu baru dirasakan adil dan tepat apabila yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar